Sabtu, 26 April 2008

Menjadi Guru bagi Anak Kreatif

Menjadi Guru bagi Anak Kreatif

Keberadaan guru berdampak besar tidak hanya pada prestasi pendidikan anak, tetapi juga sikap dan pandangan anak terhadap sekolah. Guru dapat melumpuhkan rasa ingin tahu anak, merusak motivasi, harga diri, dan kreativitas anak. Bahkan, guru yang sangat baik (atau yang sangat buruk) dapat memengaruhi anak lebih kuat daripada orang tua anak sendiri. Sebab, guru punya lebih banyak kesempatan untuk merangsang atau menghambat kreativitas anak daripada orang tua.

Pertanyaan yang sering timbul adalah bagaimana menjadi guru untuk anak-anak kreatif? Harus diakui bahwa guru tidak dapat dengan mudah mengajarkan kreativitas, tetapi dia dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan kreativitas itu muncul, memupuknya, dan merangsang pertumbuhannya.


Guru bagi Anak Kreatif

Semua anak di sekolah memerlukan guru yang baik. Guru menentukan tujuan dan sasaran belajar, membantu pembentukan nilai-nilai pada anak, memilihkan pengalaman belajar, menentukan strategi belajar, dan yang paling penting bisa menjadi model perilaku bagi siswa. Namun, bagaimanapun, tidak semua guru dapat mengajar anak kreatif.

Daftar guru anak kreatif yang dihimpun Davis (dikutip, Sisk, 1987) menyebutkan ciri-ciri sebagai berikut: memiliki sikap demokratis, ramah dan memberi perhatian perorangan, sabar, minat luas, penampilan menyenangkan, adil dan tidak memihak, mempunyai rasa humor, perilaku konsisten, memberi perhatian terhadap masalah anak, sikap luwes (fleksibel), menggunakan penghargaan dan pujian, dan mempunyai kemahiran yang luar biasa dalam mengajarkan subjek tertentu.

Daftar Davis itu kemudian dinilai oleh 60 anak kreatif dari kelas program keberbakatan untuk sekolah menengah. Hasilnya menunjukkan bahwa ciri-ciri profesional seperti minat untuk belajar dan kemahiran dalam mengajar dinilai lebih penting daripada ciri seperti penampilan dan sikap yang menyenangkan.


Kelas yang Mendorong Anak Kreatif

Perbedaan mencolok model kelas antara 30 tahun lalu dan sekarang adalah kelas yang "terbuka" dan yang "tradisional". Pada umumnya, kelas yang terbuka mempunyai struktur tidak kaku, kurang ada tekanan terhadap kinerja anak, dan lebih banyak perhatian individual. Gerakan pengaturan model kelas terbuka yang dimulai 1960 itu dinyatakan sebagai cara yang baik untuk memupuk belajar yang bermakna dan kreativitas anak. Kelas terbuka dengan struktur yang tidak kaku dan memberikan perhatian individual lebih memupuk pengembangan kreativitas anak dibandingkan dengan kelas tradisional. Kelas harus menjadi pusat sains, pusat membaca, atau pusat aktivitas. Hal itu akan memotivasi anak untuk bereksperimen dan menjajaki berbagai bidang.

Ruang kelas hendaknya juga menarik secara visual, dengan cara diisi berbagai hasil karya siswa. Misalnya, lukisan, foto, karangan, patung, dan karya lainnya. Siswa boleh memilih karyanya yang akan dipajang dan boleh diganti sesuai dengan keinginannya. Anak-anak dapat dilibatkan dalam mengusahakan bahan-bahan untuk kelasnya. Mereka dapat membawa objek-objek dari rumah atau berbagai materi. Pengaturan rancangan ruang kelas yang luwes dan tidak konvensional merupakan tantangan bagi siswa untuk mewujudkan bakat dan kemampuan kreatif. Jadikan kelas sebagai pusat sains. Artinya, di dalam kelas mengandung berbagai materi yang mungkin melakukan banyak kegiatan dan eksperimen sehingga kelas menjadi pusat aktivitas di mana mereka bermain, bereksperimen dengan bermacam-macam bahan. Kondisi itu akan sangat merangsang kreativitas anak-anak.

Berdasar pengalaman penulis, kemampuan anak dalam satu kelas biasanya berbeda-beda. Bila diberi materi yang sama dan pada saat yang sama pula, akan terdapat daya serap yang berbeda. Duduk dalam satu kelas bersama anak-anak dengan kemampuan yang berbeda-beda memiliki untung-rugi. Keuntungannya, anak belajar berkomunikasi dengan macam-macam anak. Anak yang cerdas dapat membantu anak yang kurang kemampuannya (tutor teman sebaya). Anak yang sangat cerdas atau kreatif sering merasa bosan berada di dalam kelas dengan anak-anak yang berkemampuan rata-rata karena daya serap dan kecepatan belajarnya lebih tinggi. Karena bosan, mungkin dia kurang memperhatikan pelajaran, menjadi acuh tak acuh, atau akan mengganggu anak-anak lain. Untuk mengatasi masalah tersebut, sebaiknya ada waktu-waktu khusus bagi anak-anak yang cerdas atau kreatif agar dapat bekerja dalam kelompok khusus, melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan bakat dan minat. Jika dalam suatu sekolah tidak ada kemungkinan untuk pengelompokan khusus pada waktu-waktu tertentu (misalnya satu atau dua kali seminggu), sebaiknya di dalam kelas tersedia bahan-bahan untuk siswa-siswa yang sangat cerdas atau kreatif. Dengan demikian, jika mereka selesai dengan pekerjaan kelas, mereka diperbolehkan melakukan hal lain sesuai dengan minat mereka. Misalnya, di sudut kelas ada perpustakaan kecil. Lebih ideal lagi jika setiap sekolah mempunyai ruang sumber belajar (resource-room) khusus bagi anak-anak yang cerdas dan kreatif. Mereka pada waktu-waktu tertentu berkumpul.


Strategi Mengajar Anak Kreatif

Berpikir kreatif mendorong anak untuk mengemukakan macam-macam jawaban. Di sekolah saat ini, yang ditekankan biasanya menemukan satu jawaban yang benar terhadap suatu persoalan. Cara memperoleh jawaban itu pun sering sudah ditetapkan oleh guru dan tidak boleh menyimpang dari satu-satunya cara tersebut. Kondisi itu tidak merangsang pemikiran kreatif. Bahkan bisa sebaliknya, anak menjadi kaku serta sempit berpikir dan memecahkan masalah.

Untuk merangsang pemikiran kreatif, kepada anak justru harus kita ajukan sejumlah pertanyaan terbuka seperti, "Bayangkan, jika kamu yang menjadi guru, apa yang akan kamu lakukan?" Lalu, kita mendengarkan semua jawabannya. Pasti jawabannya tidak satu kalau dia memang kreatif. Tugas lain adalah membuat cerita dari empat kata; membuat aneka ragam gambar dari lingkaran; memikirkan untuk apa kardus sepatu bisa kita pakai? Bisa juga memberi tugas membayangkan masa depannya dengan membuat pohon karir atau tugas yang meminta anak menyimak masa lalu dengan membuat "silsilah keluarga".

Guru sebaiknya tidak membekali anak dengan jawaban atau cara yang sudah siap pakai untuk memecahkan masalah di masa depan. "Yang dapat dilakukan guru adalah membekali anak dengan keterampilan berpikir dan sikap yang memungkinkan menghadapi tantangan hari esok secara kreatif dan inovatif," (Utami Munandar, 1999). Mengajari anak bagaimana dia harus belajar (penekanan pada proses) lebih penting daripada mengajari apa yang harus dia pelajari. Materi pelajaran yang sekarang diberikan belum tentu berguna bagi anak jika dia dewasa. Anak yang telah belajar bagaimana dia harus belajar akan dapat menemukan apa yang dia butuhkan.

Demikian pula, pembelajaran hendaknya menekankan pada cara belajar yang kreatif dan tidak semata-mata menekankan pada materi pelajaran yang diberikan guru dan anak harus menghafalnya. Menerima secara pasif bahan yang ditentukan oleh orang lain dan kemudian mereproduksinya tidak menunjukkan cara belajar yang kreatif. Kreativitas dapat lebih dipupuk dalam belajar jika anak diberi kesempatan menentukan apa yang akan dipelajarinya.

Hendaknya, anak juga dibiasakan mencari sendiri apa yang ingin diketahuinya. Misalnya, di dalam kamus atau ensiklopedia. Anak belajar kreatif dengan mengajukan pertanyaan (jadi tidak hanya guru yang mengajukan pertanyaan), berdiskusi, menemukan sendiri, atau melakukan sesuatu berdasar bahan pelajaran yang telah diberikan, seperti membandingkan, melakukan eksperimen, dan sebagainya.(*)

Tidak ada komentar:

Generate Your Own Glitter Graphics @ GlitterYourWay.com - Image hosted by ImageShack.us